Beranda | Artikel
Seri Faidah Kitab Tauhid [2]
Rabu, 11 Mei 2016

Bismillah.

Pada bagian sebelumnya telah disebutkan faidah-faidah dari ayat ke-56 dalam surat adz-Dzariyat yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di bagian awal Kitab Tauhid ini. Berikut ini akan kami lanjutkan insya Allah dengan menyebutkan beberapa pelajaran dan faidah yang disebutkan oleh para ulama.

Hidup Bukan Untuk Kesia-siaan

Sebagaimana telah dijelaskan di dalam ayat ke-56 dari surat adz-Dzariyat, bahwa tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah supaya mereka beribadah kepada Allah. Maka, hal itu menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya Allah tidak menciptakan kita untuk sebuah kesia-siaan. Ada tujuan dan hikmah yang sangat agung di balik itu semua.

Di dalam risalah beliau Tsalatsatul Ushul, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah juga menegaskan, “Bahwasanya Allah menciptakan kita dan memberikan rizki kepada kita serta tidak meninggalkan kita dalam keadaan sia-sia/terlunta-lunta…”. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa maksudnya ialah Allah menciptakan kita dan memberi rizki kepada kita demi suatu hikmah. Allah tidak sekedar menciptakan kita untuk kesia-siaan. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwasanya Kami menciptakan kalian hanya demi kesia-siaan dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (al-Mu’minun : 115). Hikmah itu adalah agar kita beribadah kepada Allah. Kita tidak hanya hidup di dunia untuk bersenang-senang lalu selesai. Di sana ada hari kebangkitan dan penghitungan amal. Dunia adalah ladang akhirat, dimana kita membekali diri dengan amal salih untuk menyambutnya (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, hal. 43-44)

Dunia Negeri Amalan

Dengan begitu, kita bisa mengerti bahwasanya dunia ini adalah negeri untuk beramal sedangkan akhirat merupakan negeri untuk memetik balasan dan ganjaran. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka dunia adalah negeri amalan, adapun akhirat maka itu adalah negeri pembalasan. Bisa jadi balasannya adalah surga atau mungkin bisa jadi adalah neraka…” (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Shalih al-Fauzan, hal. 45)

Hal ini pun memberikan faidah penting bagi kita, bahwasanya perintah untuk beribadah yang Allah berikan kepada kita itu sesungguhnya bukanlah demi kemaslahatan dan kepentingan Allah. Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan kita dan tidak juga amal ibadah yang kita kerjakan. Kita ini lah yang sebenarnya membutuhkan ibadah itu. Yang dengan ibadah itulah kita akan bisa meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Allah berfirman mengisahkan ucapan Nabi Musa ‘alaihis salam kepada Bani Isra’il (yang artinya), “Jika kalian kufur dan seluruh yang ada di bumi ini juga demikian, maka sesungguhnya Allah maha kaya dan maha terpuji.” (Ibrahim : 8) (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Da’watu Tauhid wa Sihamul Mughridhin, hal. 8-9)

Fitrah Mengenal Allah

Apabila Allah menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya maka hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya mengenal Allah merupakan fitrah yang menjadi asal keadaan manusia ketika dilahirkan ke dunia. Oleh sebab itu dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif/bertauhid lalu setan-setan pun menyimpangkan mereka.” (HR. Muslim). Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap bayi itu terlahir dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan demikian pada dasarnya untuk mengenal Allah tidak dibutuhkan penelitian dan pengkajian yang rumit. Oleh sebab itu kita dapati banyak orang awam dari umat Islam ini yang sudah mengenal Allah dengan bekal fitrahnya itu. Apabila seorang insan dibiarkan dengan dirinya sendiri tanpa dipengaruhi oleh siapa pun niscaya dia akan beribadah hanya kepada Allah (lihat keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh ‘Aqidah Safariniyah, 148-149)

Tauhid Rububiyah Saja Tidak Cukup

Dari penjelasan kandungan ayat ke-56 dari surat adz-Dzariyat di atas teranglah bagi kita bahwasanya tujuan Allah menciptakan jin dan manusia ialah agar mereka beribadah kepada-Nya semata, tidak kepada selain-Nya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa semata-mata pengakuan terhadap keesaan Allah dalam hal mencipta, memelihara dan mengatur alam -atau yang sering disebut sebagai tauhid rububiyah- itu belumlah cukup.

Benar, bahwa tauhid rububiyah adalah sebuah pondasi yang sangat mendasar di dalam Islam, meskipun demikian hal itu tidak mencukupi dalam hal perealisasian tauhid. Sehingga barulah dikatakan benar tauhidnya apabila seorang melakukan konsekuensi dari tauhid rububiyah yaitu dengan mengesakan Allah dalam beribadah; atau sering disebut sebagai tauhid uluhiyah. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21). Oleh sebab itu para ulama salaf menyatakan bahwasanya pengakuan terhadap tauhid rububiyah mengharuskan manusia untuk mewujudkan tauhid uluhiyah (lihat keterangan Dr. ‘Isa bin Abdullah as-Sa’di hafizhahullah dalam Maqashid Kitab Tauhid, hal. 4)

Demikian beberapa petikan faidah seputar kandungan ayat ke-56 dari surat adz-Dzariyat yang bersumber dari keterangan para ulama. Semoga bisa menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi kita dalam mewujudkan nilai-nilai penghambaan kepada Allah. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/seri-faidah-kitab-tauhid-2/